“Kou foto Bapak guru kah?” Tanya saya.
“Haa iyo Pa guru, tong tara sengaja tekan tombol Pa guru pu hp.” Jawab Aulio.
Malam hari menjelang tidur, saya melihat foto yg tadi tidak sengaja diambil oleh Aulio. Tidak tau mengapa saya sangat suka dengan hasil foto yang diambil secara tidak sengaja ini. Pakaian yang saya kenakan sangat berbeda dengan simbol yg tertempel di dinding rumah, tapi inilah yang saya alami. Sangat terlihat toleransi yang terjadi dalam keluarga kecil angkat saya di desa penempatan.
Mama yang selalu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Bapak dan Aulio yang hampir selalu ikut makan sahur. Murid-murid yang bergantian mengantarkan ikan hasil “nyolo”. Atau suasana rumah yang sangat hening ketika saya melaksanakan ibadah sholat maghrib, isya, tarawih dan jumat seorang diri.
Kembali saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung bisa ada di kondisi ini. Beruntung bisa merasakan Ramadhan bersama keluarga Protestan saya yang sangat taat. Beruntung bisa mendapatkan banyak pembelajaran budi pekerti luhur dari orang di desa yang sering kali, orang kota, menganggap mereka sebelah mata. Semoga dari foto ini kita semua, orang-orang yang sering melabeli diri sebagai manusia berpendidikan, bisa belajar dan merefleksikan tentang toleransi dan perbedaan dalam kebersamaan.
Cerita dari Agung Rangkuti Zayadi (Pengajar Muda XII Kepulauan Yapen)